Selasa, 12 Mei 2009

Pesugihan

Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 10 Mei 2009 , Hal.VIII

Siang itu memang tak terlalu panas.
Di sebuah rumah yang lumayan besar, sudah tampak orang saling berjubel memenuhi rumah itu. Di dalam rumah itu ada seorang perempuan setengah baya terkapar tak berdaya. Seluruh tubuhnya putih pucat, matanya membelalak tajam. Beberapa tetangga mencoba memberi pertolongan dengan cara memberikan minyak kayu putih ke seluruh tubuh perempuan setengah baya itu. Yang lainnya memijit-mijit badannya. Tapi, kelihatan perempuan itu, tak menampakkan reaksi. Tubuhnya melemah tak berdaya. Satu helaan napas yang berat, perempuan itu, akhirnya meninggal dunia. Terjadi saling bisik di antara mereka yang menyaksikan kejadian ganjil tersebut.
” Lik Sumi mati karena makan uangnya Pak Manggut,” bisik seorang perempuan tetangga.
”Dia dimakan buto ijonya Pak Manggut,” ditimpali seorang yang ada di dekatnya.
”Lik Sumi ngapusi Pak Manggut, karena Lik Sumi milih Pak Sahun. Makanya buto ijonya Pak Manggut menghabisi nyawa Lik Sumi. Di siang yang tidak terlalu panas itu, ramai orang saling berspekulasi terhadap kematian Lik Sumi yang aneh tersebut.
***
”Ini fitnah! Semuanya nggak betul! Masak saya dibilang mempunyai buto ijo, ini namanya sudah kelewatan. Apa karena usaha toko saya maju? Terus semua orang mengaitkan kekayaan yang saya peroleh, saya dapatkan dengan memelihara buto ijo? Apa karena saya jadi Caleg, terus massa saya banyak, ada yang iri mencoba memfitnah rakyat, bahwa saya mempunyai pesugihan? Pesugihan dari mana? Ini yang namanya black campaign. Kampanye hitam yang mencoba menjatuhkan nama saya di hadapan rakyat,” Pak Manggut mencak-mencak di kamarnya.
”Sudahlah ta, Mas. Namanya juga menjelang pilihan Caleg begini, apa-apa bisa terjadi. Fitnah, saling menjatuhkan, black campaign semuanya bisa terjadi. Kita sabar saja,” ujar isteri Pak Manggut.
Belum ada sepekan setelah kematian Lik Sumi, Pak Karto juga mengembuskan napas terakhir. Kata dokter dan paramedis, Pak Karto kena serangan jantung. Para penduduk tetap masih percaya bahwa, Pak Karto meninggal gara-gara menipu Pak Manggut. Pak Karto disinyalir memakai uang rapat sosialisasi Caleg untuk membeli kendaraan baru. Memang, Pak Karto mempunyai kapasitas sebagai bendahara tim sukses Caleg Pak Manggut. Isu dan rumor cepat sekali menyebar, bahwa Pak Karto meninggal dimakan pesugihannya Pak Manggut yang berwujud buto ijo.
”Fitnah ini sudah sangat kebablasan!” teriak Pak Manggut di tengah tim suksesnya.
”Ini pasti ulah Sahun, Pak. Dia takut dengan kekuatan Bapak, makanya dia membuat isu tentang pesugihan,” ungkap warga mencoba membuka pembicaraan.
”Betul, Pak. Ini pasti tindakan yang tidak fair dari Pak Sahun. Kita harus membalasnya, Pak!” seorang lagi menimpalinya.
”Kita harus mencari bukti dulu, jangan main tuduh. Nanti malah kita yang kena masalah,” Pak Manggut mencoba menenangkan emosi timnya itu.
***
Di sebuah pendapa yang tak begitu besar sudah berkumpul hampir 100-an orang, baik tua muda, laki perempuan, semuanya berkumpul dalam pendapa itu. Itulah pendapa tempat tinggalnya seorang Caleg yang punya kekayaan yang lumayan, tapi mempunyai sifat yang kikir dan sombong. Caleg itu bernama, Pak Sahun seorang direktur sebuah PT yang bergerak dalam bidang penyalur tenaga kerja Indonesia. Konon kekayaan yang diperolehnya secara luar biasa itu, karena Pak Sahun sering meminta uang kepada para calon tenaga kerja secara ilegal.
”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari. Di kampung kita ini sudah tidak aman lagi. Dua orang warga kita telah meninggal secara misterius. Ini semua akibat dari pesugihannya Pak Manggut. Apa Bapak-bapak, Ibu-ibu yang hadir di sini mau menjadi korban dari buto ijonya Pak Manggut?” Semua penduduk tanpa dikomando langsung berteriak, ”tidak!”
”Makanya mulai besok, kita yang sudah hadir di sini untuk mengusir seluruh keluarga Pak Manggut. Kita usir pergi Pak Manggut dan seluruh keluarganya dari kampung ini, karena sudah terbukti memelihara pesugihan yang kemarin sudah memakan korban dua orang tetangga kita. Kalau tidak, kalianlah yang akan menjadi korban dari buto ijonya Pak Manggut. Bagaimana Bapak-bapak, Ibu-ibu, setuju?” Pak Sahun membakar dan mempengaruhi emosi para penduduk yang memadati pendapa itu.
”Setuju! Besok kita usir Pak Manggut dari kampung ini!” Beberapa penduduk saling berteriak, yang lainnya pun ikut-ikutan. Pak Sahun tersenyum puas. Misinya untuk menyingkirkan rival beratnya dalam pemilihan Caleg sudah ada di depan mata.
”Kalau begitu, sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Besok pukul 07.00 pagi, kita bergerak ke rumahnya Pak Manggut.”
Akhirnya pertemuan malam itu selesai dengan keputusan untuk menyingkirkan keluarga Pak Manggut dari kampung mereka. Sebelum pulang, di pintu gapura rumah Pak Sahun sudah menunggu beberapa orang yang telah siap untuk membagikan sebuah amplop berisi uang yang akan diberikan kepada para. Kembali wajah Pak Sahun tersenyum puas.
”Modar kowe, Manggut! Besok kamu masih hidup atau sudah menjadi mayat, aku tidak tahu. Engkau akan menjadi cecunguk tikus got!”Pak Sahun membatin tentang khayalan kemenangan yang dianggap sudah di depan matanya.
***
Pagi itu pukul 07.00 rumah Pak Manggut hancur berantakan. Para penduduk sudah kalap kena hasutan Pak Sahun. Para penduduk sudah seperti kemasukan setan. Mereka tak mempedulikan rasa kemanusiaan. Korban sudah ada. Pak Manggut mati mengenaskan. Badannya hancur karena kena pukulan benda tumpul oleh puluhan penduduk yang tak waras. Kepalanya pecah, mulut dan telinganya banyak mengeluarkan darah. Isteri dan seluruh keluarga Pak Manggut sudah kocar-kacir menyelamatkan diri entah ke mana. Mereka semuanya menghilang. Para aparat datang terlambat untuk menyelamatkan harta dan nyawa Pak Manggut. Dari kejadian itu, hanya beberapa penduduk yang diciduk para aparat hukum untuk dimintai keterangan perihal kejadian yang mengerikan itu. Dari keterangan para penduduk yang sempat diciduk oleh aparat kepolisian, kesimpulan yang pasti dari peristiwa tragis itu. Bahwa, aktor intelektual dari kejadian pagi itu adalah tertuju pada salah satu tokoh yaitu, Pak Sahun. Akhirnya, tak berapa lama para aparat polisi itu berhasil menahan Pak Sahun untuk dijebloskan ke dalam sel.
”Sebentar, Pak. Bapak jangan asal tangkap dan tuduh, dong. Saya tidak menyuruh mereka untuk membunuh Pak Manggut. Saya hanya menyuruh untuk menyelidiki, apa benar Pak Manggut itu mempunyai pesugihan atau tidak? Jadi, saya tidak bersalah, Pak. Yang membunuh Pak Manggut kan para penduduk, bukan saya, Pak,” kata Pak Sahun meronta.
***
Kini di ruangan 3 x 3 yang sempit dan berhawa dingin itu, Pak Sahun hanya memandang langit-langit kamar tahanan itu dengan perasaan marah. Rencananya buyar dan hancur lebur hanya dalam tempo yang sesaat. Malahan kini dia harus rela untuk mendekam dalam penjara yang pesing dan bau. Malam itu matanya tak bisa terpejam. Pikirannya kacau dan kalut. Udara dingin yang menembus kulitnya semakin memperparah keadaan Pak Sahun. Dia mencoba untuk memejamkan matanya. Tapi tidak bisa. Tiba-tiba matanya menatap tajam dalam pojok ruang tahanannya, tangannya menunjuk ke salah satu pojok ruangan itu dengan gemetaran. Mulutnya terkatup ingin mengucap sesuatu, dan seakan-akan dia melihat sesuatu yang menakutkan.
”Buuutoooo Iiiijooo!” matanya tak bisa terpejam, tangannya kaku. Mulutnya keluar darah segar. - Cerpen Dendy Rudiyanta

1 komentar:

  1. cerpennya bagus, cuma kurang misterius. endingnya udah keliatan dari tengah bacaan

    BalasHapus