Rabu, 06 Mei 2009

Depresi

Mati aku...” mataku tak percaya menatap spidol yang digoreskan anggota KPPS di papan tempat namaku tercantum kecil dengan nomor urut lima.
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh... Tidak sampai dua ratus! Masih jauh dari targetku sebesar seribu lima ratus suara. Mati aku!
***
”Oke Pak, semua bisa diatur. Jangan khawatir, saya sudah berpengalaman di bidang ini. Jaminan? Haha, masa Bapak tidak percaya dengan saya? Silakan Anda lakukan apapun terhadap saya jikalau Bapak tidak dapat melenggang. Ah, baik. Selamat bersenang-senang Pak, menunggu kemenangan Bapak yang tinggal beberapa waktu lagi. Baik, selamat malam Pak. Saya akan mulai bergerak satu jam lagi bersama tim saya.”
***
Dengan diantar anakku, aku pulang ke rumah dengan wajah pucat. Bagaimana bisa target hanya terpenuhi segelintir?
Wajahku semakin pias saat menyadari sudah banyak sekali barang-barang di rumahku yang hilang. Televisi 32 inci hadiah dari adikku yang kerja di Amerika. Atau mobil Mercy hitam kesayanganku yang kudapat melalui jerih payah bekerja sebagai manajer perusahaan travel. Semua ludes. Ah, belum lagi 10 sapi dan puluhan kambing yang terpaksa ku lego demi ambisi meraih kursi. Padahal itu untuk investasi bagiku dan anak-anak. Mimpi menjadi kaya dalam sekejap malah berbalik menghantam dengan kenyataan menjadi miskin dalam waktu singkat. Berapa kerugianku semua? Aku tidak mampu berpikir. Aku terlalu goyah untuk membayangkan hidup dalam ketiadaan lagi seperti dulu. Ah, gelap sekali...
Dua setengah jam aku pingsan. Di sekeliling ku lihat isteriku dan satu anakku yang menatap dengan khawatir. Apa mereka juga khawatir karena akan menjadi miskin? Atau mereka tidak tega melihatku berpucat muka seperti ini?
”Apa kubilang. Bapak tidak usah memaksa untuk jadi anggota Dewan! Aku sudah bilang untuk apa menjual semuanya demi ambisi bapak yang tak tahu diri!” isteriku langsung menyembur setelah dia sodorkan segelas air hangat untukku. Air yang tadinya membuat nyaman sekejap bagai duri yang menyakiti kerongkonganku.
”Coba bapak sekarang lihat. Semua yang sudah susah payah kita kumpulkan dari dulu hilang. Bagaimana kita bisa melanjutkan hidup kita? Setengah tahun lagi bapak pensiun. Anak-anak makan apa?” isteriku terus menyerangku. Aku memejamkan mata.
”Aku dulu sudah bilang, ambisimu bisa membunuh kita semua!!” kemudian istriku keluar kamar. Aku paham mengapa dia marah sekali, karena dia akan kehilangan masa-masa menikmati kekayaan yang belum lama direguk. Namun, semua itu belum cukup parah...
”Pak, ternyata pinjaman kita untuk membeli kambing dan sapi akan jatuh tempo besok. Jumlahnya Rp 75 juta. Tadi ada yang menelepon, katanya besok akan ada yang menagih.”
Putra, anakku lelaki yang memilih tinggal di sini berbicara lambat-lambat. Tampaknya dia cukup pengertian untuk tidak ikut-ikut menyembur seperti ibunya tadi. Tapi ku juga hanya bisa diam.
”Kak Ratna akan ujian akhir dan butuh uang. Kak Rudi akan praktik ke Sulawesi dan meminta laptop Pak. Mereka butuh biaya...” Walaupun dengan pelan-pelan, sama saja. Menyakitkan. Ku berharap aku pingsan lagi agar tidak jadi mendengar berita tadi...
Tak lama istriku kembali. Di tangannya ada batu mulia. Tampaknya berlian. Aku menatap kosong ke arahnya.
”Bagaimana aku bisa membayar ini? Aku sudah membayar setengahnya dan tidak bisa ditarik lagi. Sudah Rp 30 juta ku keluarkan untuk setengah harga ini.” Ku memejamkan mata lagi. Ku saat ini hanya ingin melihat gelap.
***
Berturut-turut berita derita yang datang kepadaku seolah belum cukup. Beberapa tim sukses menuntut bayaran yang belum mereka terima. Ada pegawai percetakan yang menagih tunggakan bayaranku... Lalu ada lagi lima orang perwakilan warga yang menuntut janjiku memberikan bantuan bahan bangunan untuk tempat mereka tinggal. Ah, aku juga baru ingat pernah berjanji kepada tetanggaku untuk membantu biaya sekolah anak-anak mereka setelah mereka mencontreng namaku. Karena itu aku tidak berani keluar rumah. Biarlah suasana yang seperti neraka ini menjadi tempatku untuk sementara waktu.
”Paaakkk!!!!” isteriku berteriak histeris. Dengan sempoyongan akibat pusing akut yang mendera aku menghampirinya. Di depannya ada empat orang berbadan tegap sedang menunjukkan kertas kepada istriku.
”Bapak Andri, Anda kami jemput untuk memberikan keterangan. Karena tim sukses Anda tertangkap tangan melakukan pelanggaran Pemilu berat. Siapkan pengacara Anda sekalian.”
Lagi dan lagi. Dasar orang bodoh! Bagaimana bisa tertangkap tangan? Kurang besarkah uang Rp 300 juta untuk mereka? Bagaimana aku bisa mempersiapkan pengacara? Dengan apa aku membayarnya? Mati aku. - Cerpen Hikmawan Ali Nova


Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 03 Mei 2009 , Hal.VIII

2 komentar:

  1. tetanggaku juga stres gitu...dari anggota DPR jadi pangon bebek. untung istrinya pengertian...

    BalasHapus