Selasa, 19 Mei 2009

Kentongan

Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 17 Mei 2009 , Hal.VIII

Malam merambat bagai ular yang malas mencari makan. Keheningan begitu sempurna melukis dirinya di kampung kecil ini.
Padahal langkah waktu baru berpijak di angka sembilan. Aku seperti berada di sebuah lorong gelap saat berada di ujung jalan kecil ini. Mencangkung sendirian di pos ronda. Di sepanjang pinggir jalan depan rumah warga tampak kerlip lampu menyala redup, seperti parade kunang-kunang.
Tak ada sesosok manusia pun datang menemaniku. Padahal bila siang hari banyak orang datang ke tempat ini. Kampung ini benar-benar mirip kuburan di malam hari. Pintu-pintu rumah warga sudah banyak yang terkunci, penghuninya pun lebih suka meringkuk di peraduan atau bercengkerama dengan televisi. Entah, apakah karena mereka terlalu lelah mengolah ladang seharian atau memang malam tak lagi menyenangkan untuk dijadikan teman.
Sebab, malam begitu dingin dan gelap. Wujudnya tak menghadirkan keindahan sama sekali. Bahkan malam sering dihubungkan dengan hal-hal mistik dan gaib. Segala sesuatu yang berbau jahat dan dosa bersembunyi di balik gelapnya malam. Mereka menyebut perempuan nakal dengan kata perempuan malam.
Malam juga berisi keindahan. Lihatlah, di tengah gelap malam hadir bintang-bintang menyemarakkan suasana. Bahkan di saat datang purnama orang-orang mengagumi keindahannya. Para pujangga mengabdikan malam dalam syair-syair yang indah, para pecinta sejati menjadikan malam teman berbagi rasa, sementara orang-orang alim menjadikan malam sebagai saat tepat untuk bertafakur dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Tapi sayang, di kampung kecil ini malam laksana musuh yang dibenci. Malam seolah menghadirkan sebuah trauma buruk bagi mereka untuk diajak bercengkerama atau sekadar teman berbagi cerita. Lihatlah, saat wajah malam muncul di kala matahari tenggelam di ufuk barat, kaum ibu segera menggiring anak-anaknya ke dalam rumah. ”Ayo, jangan main di luar. Ini sudah malam! Nanti kalian digondol wewe!” begitu ucapan yang kudengar dari mereka.
Sementara kaum laki-laki malas mendatangi malam, karena mereka sudah cukup senang bercengkerama dengan keluarga di dalam rumah atau mencari kehangatan di atas ranjang mereka. Mereka tak berpikir kampung mereka akan disatroni pencuri karena tak ada yang ronda. Kampung ini sudah cukup aman, bertahun-tahun tak pernah ada cerita kemalingan di rumah warga. Sementara anak-anak muda yang biasanya hobi begadang juga tak tampak batang hidungnya. Mereka begitu asyik main hape di kamar.
Ah, hanya aku sendirian yang masih mau bercengkerama dengan malam. Hanya aku satu-satunya penghuni kampung ini yang masih setia menemani malam. Karena malam memberikan kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan buat diriku. Bersama malam aku juga lebih berarti. Bersama malam aku tidak kesepian. Sungguh, hanya malam teman setia sekaligus yang bisa memahami keberadaanku.
Di kampung ini aku memang terkunci. Orang-orang sudah tidak peduli kepadaku. Jangankan peduli, menengok pun mereka tak sudi. Di mata mereka aku sudah tak dibutuhkan lagi. Aku seperti kata pepatah: habis manis sepah dibuang. Mereka seakan tak ingat jasaku dulu. Dalam segala situasi dan keadaan aku selalu dilibatkan. Aku menjadi ujung tombak dalam berbagai kegiatan warga. Aku menjadi perantara komunikasi dan jembatan bagi satu dengan lainnya.
Tapi...ah, apa gunanya mengeluh dan meratap. Toh, meskipun aku bisa bicara tak akan mengubah keadaan. Aku tetap dianggap ketinggalan zaman. Aku sudah dianggap usang. Aku tak pantas lagi menjadi sesuatu yang bisa diandalkan, apalagi dibanggakan. Bagi warga di kampung ini aku tak lebih barang rongsokan yang sudah tak berharga. Hanya malam yang masih menghargai aku. Desah suaranya ketika dihembus angin terasa menyusup ke relung kalbu.
Bersama malam aku bisa bersenandung menyanyikan lagu kenangan... Saat ini seperti biasa aku bercengkerama dengan malam dalam suasana yang khusuk dan menenteramkan. Bayangan malam yang gelap menyelimuti diriku. Entahlah, beberapa hari ini bangunan pos ronda yang kutempati telah diabaikan oleh warga. Lampu bohlam lima watt yang biasa menerangi tiga hari ini padam. Tapi tak ada seorangpun berinisiatif menggantinya. Maka, menjadi gelaplah bangunan mungil ini. Begitu pun jalan di depannya.
Tapi aku tak terlalu merisaukan hal itu. Suasana gelap justru membuatku semakin nyaman bercengkerama dengan malam. Tak ada yang mengusik dan mengganggu kami. Senyap yang datang melengkapi kedamaian. Hanya siulan burung hantu dan celoteh serangga malam terdengar memeriahkan suasana.
Tiba-tiba keheningan malam terusik oleh suara langkah kaki yang datang. Ah, siapa pula yang kelayapan di tengah malam sepi begini? Ternyata masih ada juga warga yang keluar dari dalam rumah untuk menyambangi malam di luar. Tapi... eit, tunggu dulu. Dia sepertinya bukan warga kampung ini. Melihat gelagatnya dia tampak mencurigakan. Berjalan mengendap-endap di balik pagar teh-tehan dan menengok ke sekeliling dengan mata waspada. Pakaiannya yang berwarna hitam semakin menyamarkan bayangannya di balik gelap malam.
Tapi di sini, aku tahu keberadaannya. Orang itu tampaknya pencuri. Lihatlah, dia membawa sebuah karung besar dipanggul di pundak. Mungkin isinya barang-barang curian. Ingin sekali ku beritahu warga, tapi mereka sudah tidak peduli padaku. Akhirnya, aku hanya bisa diam menyaksikan pencuri itu melenggang pergi di hadapanku. Baru keesokan paginya warga menjadi gempar.
Semua warga turun ke jalan membicarakan tentang peristiwa pencurian semalam. Rumah Pak Hadi dan Pak Syamsul kemasukan pencuri. Barang-barang berharga seperti perhiasan dan barang elektronik raib dari tempatnya.
”Kejadian ini tak bisa dibiarkan! Kita harus lapor polisi! Kampung kita sudah tidak aman!” ujar Pak RT.
”Tapi, Pak. Bagaimana kita bisa menangkap pencuri itu, karena tidak ada saksi mata yang melihatnya. Kita tidak tahu, siapa pencuri itu? Apakah laki-laki atau perempuan. Jangan-jangan malah warga kita sendiri?” celetuk seorang warga.
Orang-orang saling bergumam seperti kumbang. Mereka saling pandang seakan saling mencurigai satu sama lain. Pak RT kembali bicara.
”Sudah, sudah! Tidak usah saling mencurigai. Sekarang saya mau tanya, siapa yang semalam berjaga di pos ronda?”
Semua orang saling pandang dan semuanya menggeleng. Pak RT geleng-geleng kepala, wajahnya berubah lesu. Seketika matanya tertuju kepadaku, oh tidak, ke bangunan mungil ini. Pandangan mata Pak RT diikuti yang lain. Pak RT lalu melangkah mendekati bangunan pos ronda dan berdiri di hadapan warga.
”Inilah kesalahan kita semua. Kenapa kita tidak waspada? Kenapa kita tidak memanfaatkan pos ronda yang telah kita bangun dengan susah payah ini? Kita sudah lama mengabaikan bangunan pos ronda ini, terlebih kepada benda satu ini...” Tiba-tiba Pak RT mengangkat tubuhku. Dia mencengkeram leherku dan mengambil sebuah potongan kayu dan memukulkannya ke badanku. Bukannya kesakitan, tapi aku malah bersuara lantang.
”Tong... toong... toooong...!” demikian teriakku.
”Tahukah kalian, suara kentongan ini sudah cukup mampu membangunkan semua warga di kampung ini jika ada kemalingan. Dulu, kentongan malah digunakan untuk menyampaikan informasi penting seperti kebakaran, kebanjiran, kematian dan lain sebagainya yang biasa disebut sebagai titir. Meski sekarang sudah ada hape, alarm dan internet tapi janganlah kita lupakan alat komunikasi yang satu ini. Walau hanya sederhana dan sangat tradisional, tapi manfaatnya luar biasa. Bisa membantu kita dalam situasi darurat. Jadi, mulai sekarang kita giatkan lagi Siskamling dan saya wajibkan setiap rumah memiliki kentongan!” tandas Pak RT.
Semua warga mengangguk setuju. Aku pun jadi senang, karena orang-orang sekarang peduli lagi kepadaku! - Cerpen Eko Hartono

Selasa, 12 Mei 2009

Pesugihan

Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 10 Mei 2009 , Hal.VIII

Siang itu memang tak terlalu panas.
Di sebuah rumah yang lumayan besar, sudah tampak orang saling berjubel memenuhi rumah itu. Di dalam rumah itu ada seorang perempuan setengah baya terkapar tak berdaya. Seluruh tubuhnya putih pucat, matanya membelalak tajam. Beberapa tetangga mencoba memberi pertolongan dengan cara memberikan minyak kayu putih ke seluruh tubuh perempuan setengah baya itu. Yang lainnya memijit-mijit badannya. Tapi, kelihatan perempuan itu, tak menampakkan reaksi. Tubuhnya melemah tak berdaya. Satu helaan napas yang berat, perempuan itu, akhirnya meninggal dunia. Terjadi saling bisik di antara mereka yang menyaksikan kejadian ganjil tersebut.
” Lik Sumi mati karena makan uangnya Pak Manggut,” bisik seorang perempuan tetangga.
”Dia dimakan buto ijonya Pak Manggut,” ditimpali seorang yang ada di dekatnya.
”Lik Sumi ngapusi Pak Manggut, karena Lik Sumi milih Pak Sahun. Makanya buto ijonya Pak Manggut menghabisi nyawa Lik Sumi. Di siang yang tidak terlalu panas itu, ramai orang saling berspekulasi terhadap kematian Lik Sumi yang aneh tersebut.
***
”Ini fitnah! Semuanya nggak betul! Masak saya dibilang mempunyai buto ijo, ini namanya sudah kelewatan. Apa karena usaha toko saya maju? Terus semua orang mengaitkan kekayaan yang saya peroleh, saya dapatkan dengan memelihara buto ijo? Apa karena saya jadi Caleg, terus massa saya banyak, ada yang iri mencoba memfitnah rakyat, bahwa saya mempunyai pesugihan? Pesugihan dari mana? Ini yang namanya black campaign. Kampanye hitam yang mencoba menjatuhkan nama saya di hadapan rakyat,” Pak Manggut mencak-mencak di kamarnya.
”Sudahlah ta, Mas. Namanya juga menjelang pilihan Caleg begini, apa-apa bisa terjadi. Fitnah, saling menjatuhkan, black campaign semuanya bisa terjadi. Kita sabar saja,” ujar isteri Pak Manggut.
Belum ada sepekan setelah kematian Lik Sumi, Pak Karto juga mengembuskan napas terakhir. Kata dokter dan paramedis, Pak Karto kena serangan jantung. Para penduduk tetap masih percaya bahwa, Pak Karto meninggal gara-gara menipu Pak Manggut. Pak Karto disinyalir memakai uang rapat sosialisasi Caleg untuk membeli kendaraan baru. Memang, Pak Karto mempunyai kapasitas sebagai bendahara tim sukses Caleg Pak Manggut. Isu dan rumor cepat sekali menyebar, bahwa Pak Karto meninggal dimakan pesugihannya Pak Manggut yang berwujud buto ijo.
”Fitnah ini sudah sangat kebablasan!” teriak Pak Manggut di tengah tim suksesnya.
”Ini pasti ulah Sahun, Pak. Dia takut dengan kekuatan Bapak, makanya dia membuat isu tentang pesugihan,” ungkap warga mencoba membuka pembicaraan.
”Betul, Pak. Ini pasti tindakan yang tidak fair dari Pak Sahun. Kita harus membalasnya, Pak!” seorang lagi menimpalinya.
”Kita harus mencari bukti dulu, jangan main tuduh. Nanti malah kita yang kena masalah,” Pak Manggut mencoba menenangkan emosi timnya itu.
***
Di sebuah pendapa yang tak begitu besar sudah berkumpul hampir 100-an orang, baik tua muda, laki perempuan, semuanya berkumpul dalam pendapa itu. Itulah pendapa tempat tinggalnya seorang Caleg yang punya kekayaan yang lumayan, tapi mempunyai sifat yang kikir dan sombong. Caleg itu bernama, Pak Sahun seorang direktur sebuah PT yang bergerak dalam bidang penyalur tenaga kerja Indonesia. Konon kekayaan yang diperolehnya secara luar biasa itu, karena Pak Sahun sering meminta uang kepada para calon tenaga kerja secara ilegal.
”Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari. Di kampung kita ini sudah tidak aman lagi. Dua orang warga kita telah meninggal secara misterius. Ini semua akibat dari pesugihannya Pak Manggut. Apa Bapak-bapak, Ibu-ibu yang hadir di sini mau menjadi korban dari buto ijonya Pak Manggut?” Semua penduduk tanpa dikomando langsung berteriak, ”tidak!”
”Makanya mulai besok, kita yang sudah hadir di sini untuk mengusir seluruh keluarga Pak Manggut. Kita usir pergi Pak Manggut dan seluruh keluarganya dari kampung ini, karena sudah terbukti memelihara pesugihan yang kemarin sudah memakan korban dua orang tetangga kita. Kalau tidak, kalianlah yang akan menjadi korban dari buto ijonya Pak Manggut. Bagaimana Bapak-bapak, Ibu-ibu, setuju?” Pak Sahun membakar dan mempengaruhi emosi para penduduk yang memadati pendapa itu.
”Setuju! Besok kita usir Pak Manggut dari kampung ini!” Beberapa penduduk saling berteriak, yang lainnya pun ikut-ikutan. Pak Sahun tersenyum puas. Misinya untuk menyingkirkan rival beratnya dalam pemilihan Caleg sudah ada di depan mata.
”Kalau begitu, sekarang kalian pulang ke rumah masing-masing. Besok pukul 07.00 pagi, kita bergerak ke rumahnya Pak Manggut.”
Akhirnya pertemuan malam itu selesai dengan keputusan untuk menyingkirkan keluarga Pak Manggut dari kampung mereka. Sebelum pulang, di pintu gapura rumah Pak Sahun sudah menunggu beberapa orang yang telah siap untuk membagikan sebuah amplop berisi uang yang akan diberikan kepada para. Kembali wajah Pak Sahun tersenyum puas.
”Modar kowe, Manggut! Besok kamu masih hidup atau sudah menjadi mayat, aku tidak tahu. Engkau akan menjadi cecunguk tikus got!”Pak Sahun membatin tentang khayalan kemenangan yang dianggap sudah di depan matanya.
***
Pagi itu pukul 07.00 rumah Pak Manggut hancur berantakan. Para penduduk sudah kalap kena hasutan Pak Sahun. Para penduduk sudah seperti kemasukan setan. Mereka tak mempedulikan rasa kemanusiaan. Korban sudah ada. Pak Manggut mati mengenaskan. Badannya hancur karena kena pukulan benda tumpul oleh puluhan penduduk yang tak waras. Kepalanya pecah, mulut dan telinganya banyak mengeluarkan darah. Isteri dan seluruh keluarga Pak Manggut sudah kocar-kacir menyelamatkan diri entah ke mana. Mereka semuanya menghilang. Para aparat datang terlambat untuk menyelamatkan harta dan nyawa Pak Manggut. Dari kejadian itu, hanya beberapa penduduk yang diciduk para aparat hukum untuk dimintai keterangan perihal kejadian yang mengerikan itu. Dari keterangan para penduduk yang sempat diciduk oleh aparat kepolisian, kesimpulan yang pasti dari peristiwa tragis itu. Bahwa, aktor intelektual dari kejadian pagi itu adalah tertuju pada salah satu tokoh yaitu, Pak Sahun. Akhirnya, tak berapa lama para aparat polisi itu berhasil menahan Pak Sahun untuk dijebloskan ke dalam sel.
”Sebentar, Pak. Bapak jangan asal tangkap dan tuduh, dong. Saya tidak menyuruh mereka untuk membunuh Pak Manggut. Saya hanya menyuruh untuk menyelidiki, apa benar Pak Manggut itu mempunyai pesugihan atau tidak? Jadi, saya tidak bersalah, Pak. Yang membunuh Pak Manggut kan para penduduk, bukan saya, Pak,” kata Pak Sahun meronta.
***
Kini di ruangan 3 x 3 yang sempit dan berhawa dingin itu, Pak Sahun hanya memandang langit-langit kamar tahanan itu dengan perasaan marah. Rencananya buyar dan hancur lebur hanya dalam tempo yang sesaat. Malahan kini dia harus rela untuk mendekam dalam penjara yang pesing dan bau. Malam itu matanya tak bisa terpejam. Pikirannya kacau dan kalut. Udara dingin yang menembus kulitnya semakin memperparah keadaan Pak Sahun. Dia mencoba untuk memejamkan matanya. Tapi tidak bisa. Tiba-tiba matanya menatap tajam dalam pojok ruang tahanannya, tangannya menunjuk ke salah satu pojok ruangan itu dengan gemetaran. Mulutnya terkatup ingin mengucap sesuatu, dan seakan-akan dia melihat sesuatu yang menakutkan.
”Buuutoooo Iiiijooo!” matanya tak bisa terpejam, tangannya kaku. Mulutnya keluar darah segar. - Cerpen Dendy Rudiyanta

Rabu, 06 Mei 2009

Depresi

Mati aku...” mataku tak percaya menatap spidol yang digoreskan anggota KPPS di papan tempat namaku tercantum kecil dengan nomor urut lima.
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh... Tidak sampai dua ratus! Masih jauh dari targetku sebesar seribu lima ratus suara. Mati aku!
***
”Oke Pak, semua bisa diatur. Jangan khawatir, saya sudah berpengalaman di bidang ini. Jaminan? Haha, masa Bapak tidak percaya dengan saya? Silakan Anda lakukan apapun terhadap saya jikalau Bapak tidak dapat melenggang. Ah, baik. Selamat bersenang-senang Pak, menunggu kemenangan Bapak yang tinggal beberapa waktu lagi. Baik, selamat malam Pak. Saya akan mulai bergerak satu jam lagi bersama tim saya.”
***
Dengan diantar anakku, aku pulang ke rumah dengan wajah pucat. Bagaimana bisa target hanya terpenuhi segelintir?
Wajahku semakin pias saat menyadari sudah banyak sekali barang-barang di rumahku yang hilang. Televisi 32 inci hadiah dari adikku yang kerja di Amerika. Atau mobil Mercy hitam kesayanganku yang kudapat melalui jerih payah bekerja sebagai manajer perusahaan travel. Semua ludes. Ah, belum lagi 10 sapi dan puluhan kambing yang terpaksa ku lego demi ambisi meraih kursi. Padahal itu untuk investasi bagiku dan anak-anak. Mimpi menjadi kaya dalam sekejap malah berbalik menghantam dengan kenyataan menjadi miskin dalam waktu singkat. Berapa kerugianku semua? Aku tidak mampu berpikir. Aku terlalu goyah untuk membayangkan hidup dalam ketiadaan lagi seperti dulu. Ah, gelap sekali...
Dua setengah jam aku pingsan. Di sekeliling ku lihat isteriku dan satu anakku yang menatap dengan khawatir. Apa mereka juga khawatir karena akan menjadi miskin? Atau mereka tidak tega melihatku berpucat muka seperti ini?
”Apa kubilang. Bapak tidak usah memaksa untuk jadi anggota Dewan! Aku sudah bilang untuk apa menjual semuanya demi ambisi bapak yang tak tahu diri!” isteriku langsung menyembur setelah dia sodorkan segelas air hangat untukku. Air yang tadinya membuat nyaman sekejap bagai duri yang menyakiti kerongkonganku.
”Coba bapak sekarang lihat. Semua yang sudah susah payah kita kumpulkan dari dulu hilang. Bagaimana kita bisa melanjutkan hidup kita? Setengah tahun lagi bapak pensiun. Anak-anak makan apa?” isteriku terus menyerangku. Aku memejamkan mata.
”Aku dulu sudah bilang, ambisimu bisa membunuh kita semua!!” kemudian istriku keluar kamar. Aku paham mengapa dia marah sekali, karena dia akan kehilangan masa-masa menikmati kekayaan yang belum lama direguk. Namun, semua itu belum cukup parah...
”Pak, ternyata pinjaman kita untuk membeli kambing dan sapi akan jatuh tempo besok. Jumlahnya Rp 75 juta. Tadi ada yang menelepon, katanya besok akan ada yang menagih.”
Putra, anakku lelaki yang memilih tinggal di sini berbicara lambat-lambat. Tampaknya dia cukup pengertian untuk tidak ikut-ikut menyembur seperti ibunya tadi. Tapi ku juga hanya bisa diam.
”Kak Ratna akan ujian akhir dan butuh uang. Kak Rudi akan praktik ke Sulawesi dan meminta laptop Pak. Mereka butuh biaya...” Walaupun dengan pelan-pelan, sama saja. Menyakitkan. Ku berharap aku pingsan lagi agar tidak jadi mendengar berita tadi...
Tak lama istriku kembali. Di tangannya ada batu mulia. Tampaknya berlian. Aku menatap kosong ke arahnya.
”Bagaimana aku bisa membayar ini? Aku sudah membayar setengahnya dan tidak bisa ditarik lagi. Sudah Rp 30 juta ku keluarkan untuk setengah harga ini.” Ku memejamkan mata lagi. Ku saat ini hanya ingin melihat gelap.
***
Berturut-turut berita derita yang datang kepadaku seolah belum cukup. Beberapa tim sukses menuntut bayaran yang belum mereka terima. Ada pegawai percetakan yang menagih tunggakan bayaranku... Lalu ada lagi lima orang perwakilan warga yang menuntut janjiku memberikan bantuan bahan bangunan untuk tempat mereka tinggal. Ah, aku juga baru ingat pernah berjanji kepada tetanggaku untuk membantu biaya sekolah anak-anak mereka setelah mereka mencontreng namaku. Karena itu aku tidak berani keluar rumah. Biarlah suasana yang seperti neraka ini menjadi tempatku untuk sementara waktu.
”Paaakkk!!!!” isteriku berteriak histeris. Dengan sempoyongan akibat pusing akut yang mendera aku menghampirinya. Di depannya ada empat orang berbadan tegap sedang menunjukkan kertas kepada istriku.
”Bapak Andri, Anda kami jemput untuk memberikan keterangan. Karena tim sukses Anda tertangkap tangan melakukan pelanggaran Pemilu berat. Siapkan pengacara Anda sekalian.”
Lagi dan lagi. Dasar orang bodoh! Bagaimana bisa tertangkap tangan? Kurang besarkah uang Rp 300 juta untuk mereka? Bagaimana aku bisa mempersiapkan pengacara? Dengan apa aku membayarnya? Mati aku. - Cerpen Hikmawan Ali Nova


Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 03 Mei 2009 , Hal.VIII