Rabu, 29 April 2009

Jiwa yang tercontreng

Oalah Pak, sing sabar,” suara Mbok Nah sambil mengelus dahi Pak Slamet.
“Huk...huk...uhuk...bluekkk...!” batuk yang bersarang di badan Pak Slamet semakin menjadi-jadi. Sudah satu tahun Pak Slamet terbaring sakit.
“Besok kita ke Puskesmas lagi, Pak,” Mbok Nah yang seorang buruh tani hanya mampu membawa Pak Slamet berobat ke Puskesmas.
“Tok tok tok... Mbok Nah, ini saya Pak Bayan,” suara pintu diketuk.
“O...Pak Bayan. Mangga...mangga ada keperluan apa, Pak?” sahut Mbok Nah sambil membukakan pintu.
“Begini Mbok Nah, ini ada undangan ke kelurahan buat Pemilu besok. Sekalian saya mau memberi tahu, jangan lupa ya Mbok, contreng gambar partai yang ada gambar buyuk! Ini lho Mbok gambarnya. Ini partai pembela wong cilik lho, Mbok. Namanya saja Partai Wong Cilik. Jadi, kalau Mbok mau diperhatikan ya harus milih partai ini!”
“Saya ini rak nggih namung piyantun alit ta, Pak Bayan. Bisanya nggih sendika dawuh.”
“Itu bagus, Mbok. Kalau sudah pasti, Mbok Nah dan Pak Slamet tak daftar. Nanti kalau ada apa-apanya aku kasih. O ya, jangan lupa Mbok, sekarang milihnya dicontreng, ingat ya Mbok dicontreng. Tidak seperti dulu. Kalau dulu kan dicoblos. Ini tak kasih contohnya. Lha..nanti yang dicontreng di sini!”
“Nggih Pak, matur nuwun,” ungkap Mbok Nah.
“Ya sudah Mbok, saya pamit dulu. Pokoknya jangan lupa, dicontreng partai yang ada gambar buyuk!”
Malam itu, mata Mbok Nah tak mau berkompromi, kedap-kedip tidak mau terpejam. Pikirannya mengembara untuk keesokan hari. Mbok Nah sibuk dengan pikirannya sendiri. Besok harus mengantar Pak Slamet berobat. Belum kalau obatnya tidak tersedia di Puskesmas karena harganya yang mahal. Tentu Mbok Nah harus merogoh kocek yang tidak sedikit.
Alam pun seakan segelisah Mbok Nah. Malam kian larut, tenang, tenang yang mencekam. Kokok ayam bersambut. Mbok Nah yang hendak mengantar Pak Slamet berobat, harus terhenti sejenak.
“Enjang, Mbok Nah?”
“Whalah...janur gunung, Bu Hajah. Mari masuk!” rupanya yang datang Bu Hajah Ahmad. Isterinya Haji Ahmad yang sering mempekerjakan Mbok Nah di sawah.
“Mbok Nah, maksud saya datang ke sini mau minta bantuan Mbok Nah sekeluarga.”
“Lho...biasanya kan hanya saya ta, Bu. Pakne sedang sakit. Sawah mana lagi ta Bu yang harus di-watun?”
“Bukan itu, Mbok. Begini, Mbok Nah. Saya kan mencalonkan diri sebagai Caleg. Jadi, saya mau minta bantuan Mbok Nah. Jangan lupa ya Mbok, nanti pilih saya!”
“O...jadi maksud fotonya Bu Hajah di tempel-tempel itu untuk ini ta.”
“Iya, Mbok. Oya Mbok, ini ada sedikit mungkin hanya bisa buat beli garam. Tapi, bener lho Mbok, jangan lupa contreng saya nggih! Kalau perlu bantuan apa-apa jangan sungkan-sungkan. Mbok Nah, datang saja ke rumah!” pinta Bu Hajah.
“Lho...ini apa ta, Bu? Lha wong matun saya belum selesai kok sudah dibayar?”
“Terima saja, Mbok. Yang penting jangan lupa contreng saya! Ya sudah saya pamit dulu.”
“Huk..uhuk...huk...si....siapa ta, Bune?”
“Itu lho Pakne, Bu Hajah meminta kita supaya mencontreng namanya di pemilihan besok. Tadi malam, Pak Bayan juga datang minta kita mencontreng partai yang ada gambar buyuk. “
***
“Pak Slamet, langsung masuk ruang periksa, nggih!”
“Nggih, Bu!”
Pak Slamet ternyata mendapatkan perlakuan agak istimewa di Puskesmas. Begitu mendaftar, Pak Slamet tidak harus mengantre seperti pasien lain. Selain karena kondisi Pak Slamet yang lemah, Pak Slamet adalah pasien rawat jalan yang sudah hampir satu tahun di Puskesmas.
“Ini ditukar di loket penukaran obat ya, Mbok Nah! Gratis tidak usah bayar.”
“Nggih...nggih Bu.., matur nuwun.”
Kian hari, kondisi Pak Slamet bukannya membaik malah semakin parah. Suhu badan panas, lemas dan batuk yang tak mau berhenti. “Duh Gusti...paringana seger waras, sabar Pak... sabar...,” kata Mbok Nah sambil menepuk-nepuk punggung Pak Slamet.
Bingung, takut, gelisah, teriak, ya teriak hanya itu yang bisa dilakukan Mbok Nah, “Tulung...tulung, tulung...Yu....!”
“Ana apa ta, Mbok? Walah...Pak Slamet kena apa iki? Dibawa ke rumah sakit saja, Mbok!” Yu Sri tetangga sebelah Mbok Nah pun panik melihat kondisi Pak Slamet.
Bermodal selembar kartu dari Pak Bayan, yang katanya kartu ini untuk mengurus biar tidak usah bayar kalau terpaksa rawat inap di rumah sakit, Mbok Nah membawa Pak Slamet ke rumah sakit.
***
Ramai, tegang, di luar sana perhitungan dimulai. Siapa yang akan terpilih dari yang terpilih? Di TPS tempat Mbok Nah nyontreng, partai yang mengusung Bu Hajah dan partainya wong cilik yang berlambang buyuk kejar-mengejar suara.
Perhitungan selesai. Palu diketuk. Partai yang mengusung Bu Hajah mampu meraup 40% suara. Siapa yang tidak kenal Bu Hajah. Sosok dengan jiwa sosial tinggi. Aktif di organisasi pembela kaum perempuan.
***
Mbok Nah termangu. Hanya napas Pak Slamet sesekali panjang mendesah.
“Siapa itu?” sentak Mbok Nah sambil menoleh ke pintu. Seperti ada bayangan orang yang mengintip lewat pintu. Tetapi ketika ditoleh dan disapa selalu menghilang secepat kilat. Sejak kemarin seperti itu. Atau jangan-jangan hanya perasaan Mbok Nah saja. Entahlah, siapa yang tahu juga kalau itu pertanda sang pencabut nyawa datang menyambangi Pak Slamet.
Dua hari Pak Slamet terkulai lemah. Batuk yang tak kunjung berhenti. Paru-paru Pak Slamet berlubang di sana-sini. Seberapa bahaya? Pastilah sangat berbahaya. Itu yang dimengerti Mbok Nah. Vonis dokter yang bisa dimaknakan umur Pak Slamet tinggal hitungan detik. Berlanjut pada vonis Sang Maha Wikan yang bisa datang sewaktu-waktu.
Salah satu jalan dengan operasi, tapi di sini belum mampu. Satu-satunya rumah sakit yang bisa melaksanakan operasi ada di Jakarta. Boro-boro ke Jakarta, di sini saja, Mbok Nah harus memutar otak, bagaimana mendapatkan obat yang harganya sundul langit.
Mata tua itu menerawang, jauh mengembara. Apa yang harus Mbok Nah lakukan.
“Bu Hajah, ya Bu Hajah!” Mbok Nah bergegas.
“Ada apa, Mbok Nah?” kata laki-laki yang mengenakan pakaian serba hitam.
“Saya mau menemui Bu Hajah. Kemarin Bu Hajah ngendika kalau ada apa-apa saya boleh sowan.”
Mbok Nah termangu. Pandangannya tertuju pada gambar besar di depannya. Foto Bu Hajah dengan latar belakang partai dan slogan: Kami Siap Membela Perempuan! Kami Siap Membela yang Lemah! Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda Bu Hajah mau menemuinya.
“Glek..ceklik,” suara pintu.
“Tapi siapa ini?”
“Begini Mbok Nah, Ibu Ahmad sedang tidak di tempat. Saya orang kepercayaan beliau. Kalau ada apa-apa bilang saja sama saya Mbok, nanti saya sampaikan beliau.”
“Tentu saja sekarang Bu Hajah sibuk. Lha wong ya menang Pemilu. Tidak saya pungkiri, saya memang mencontreng nama beliau. Itung-itung balas budi. Siapa yang mau mempekerjakan perempuan tua seperti saya ini selain Bu Hajah,” langkah Mbok Nah gontai.
Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu. Tapi mana Bu Hajah? Tak kelihatan batang hidungnya. Menunjukkan itikat baik pun tidak. Janji tinggal janji. Janji sang Caleg yang tercontreng oleh kepalsuan.
Raga Pak Slamet sudah tak mampu lagi. Beban sakit ini terlalu berat. Mbok Nah sudah pasrah pada Gusti Kang Maha Agung. Berdoa dan berusaha, tapi tetap saja manungsa mung saderma. Manut marang kersaning Gusti.
“Istighfar...Pak, Allahuakbar... Allahuakbar... Pak!”
Mati. Ya, ini akhir dari semua. Hari ini, satu lagi jiwa yang tercontreng dari daftar manusia di bumi. Sesuai dengan namanya, Slamet. Berasal dari tembung Jawa yang berarti slamet, wilujeng, rahayu, nir ing sambi kala. Selamat dari kerasnya dunia. Selamat dari kekacauan politik. Perebutan tahta yang membuat orang semakin buta, haus kuasa. “Duh Gusti, nyuwun pangapunten. Wong Jawa ora njawani. Tidak tanggap sasmita. Bayangan itu. Sang malaikat yang sudah bersiap-siap membawa, Pakne!” buktinya hari ini bayangan itu tidak datang lagi. Hari di mana Pakne sudah menghadap-Nya. - Cerpen Rahayu Nur Istiana
Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 26 April 2009 , Hal.VIII

Di ujung mimpi

Seperti biasa, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang menjadi satu-satunya jalur alternatif yang menghubungkan jalan raya pinggir kota.
Tas butut yang selalu menemaniku ke mana saja, sudah mulai menampakkan guratan lapuk di makan usia. Tapi masih saja aku paksakan terus untuk mendampingiku, mungkin saja andaikan tas itu bisa bicara pasti meronta menangis minta pensiun. Tapi sekali lagi harus aku bawa, karena hanya satu-satunya tas yang kumiliki.
Di seberang jalan, sampailah aku di tempat pemberhentian bus kota. Lama sekali aku duduk termangu menatap kerumunan manusia yang terlihat penuh kesibukan. Beberapa kali pak kondektur menawarkan jasanya dengan tujuan tertentu. Dan aku tetap saja tak bergeming untuk merespons walau hanya dengan senyuman. Namun sesekali hendak melangkahkan kaki ini ke arah tangga masuk ke dalam bus mini, tiba-tiba niat mengurung begitu saja. Entah perasaan apa yang mengendap hampa seakan-akan berubah menjadi awan mendung yang menggumpal hitam dan seperti ada yang mendepak tubuhku begitu kuat. Nyaliku semakin mengerut ciut. Inikah yang dinamakan trauma? Yah, trauma. Karena aku merasakan tekanan jiwa yang menggoncang dan memudarkan semangat yang dulu pernah menjadikan suatu kekuatan pada diri ini.
Semua terjadi begitu cepat...
Aku sadar akan diriku yang lemah tak berdaya jika dihadapkan pada masalah itu. Selalu saja merasa gagal.
***
Entah sudah berapa lama aku duduk berteman sepi, walaupun suasana kota sangat ramai hilir mudik kendaraan. Aku berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas dan selalu menghantuiku. Satu per satu mata ini memandang sudut ruang dunia yang pengap. Rasanya tak sanggup lagi hati ini kembali tegar menyambut kenyataan. Akhirnya coba kupaksa langkahkan kaki menembus kepenatan-kepenatan hidup. Tak lama, tiba-tiba langkah gontai kakiku terhenti oleh sosok pemuda yang membawa setumpuk koran yang diselipkan di sela-sela tangan kanannya. Kedua bola mata ini lekat memandangi pemuda dengan balutan kain lusuh itu. Seperti aku dulu ketika sebisa mungkin membantu emak hanya sekadar untuk mendapatkan sesuap nasi. Betapa beratnya menanggung beban hidup yang kadang tak sanggup kupahami namun tetap bertahan. Tak begitu lama pikiranku kembali terusik ingatan masa lalu yang membuat aku semakin rindu akan kehadiran emak. Ah, seketika bayangan emak nun jauh di sana begitu jelas di depan mataku. Rasanya senantiasa hadir di dalam hati ini. Masih terngiang nyaring dalam indera pendengaranku harapan-harapan emak yang pernah tertanam di hati nan suci belahan jiwaku itu. Walaupun dulu aku masih labil dalam berpikir.
”Mar, besok kalau sudah lulus mau nglanjutin ke mana Nak?” lirih suara parau Emak menghenyak nadiku.
”Sudahlah Mak, itu kan masih lama. Lagian aku belum mikirin kok,” jawabku dengan nada selembut mungkin. Lalu aku coba alihkan pembicaraan, tetap saja emak mendesakku tanpa henti. Begitu besar harapan wanita pengayom jiwaku itu kepadaku agar aku tetap dan terus melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, meski emak sendiri belum pernah merasakan bangku yang lebih tinggi di atas sekolah dasar.
”Mar, kamu ingin membahagiakan Emakmu ini ta Le?” tanya Emak sambil mendekapku penuh kasih sayang.
”Tentu lah Mak, Damar tak akan pernah sedikit pun mengecewakan Emak,” jawabku seraya memeluk erat tubuh yang mulai merapuh itu, seakan menahan sesuatu yang sangat berharga agar tidak jatuh ke jurang yang sangat dalam. Pipiku basah. Terasa ada yang meleleh tak terbendung.
”Damar...” pelan sekali suara Emak namun mampu memecah keheningan.
Tubuhku yang lemah ditegakkannya dengan kelembutan belaian kasih sayang Emak.
”Mar, harapan ini bukan hanya dari Emak sendiri Nak. Dulu mendiang Bapakmu lah yang sangat besar harapannya dengan keinginan itu waktu kamu masih berusia dua tahun,” Emak tersenyum padaku meski kedua sudut matanya mengalir lembut air mata penuh pengharapan. Tampak sekali dalam setiap tetesan bulir air matanya terukir jelas nama Bapak. Dan ketegaran hati Emak memaksaku berkata, ”Ya, Mak.”
Aku tak kuasa menatap wajah Emak yang mulai semakin mengeriput namun penuh ketegaran. Tapi aku harus tetap tersenyum meski di balik senyuman ini menyimpan beribu tanda tanya. Dengan modal apa aku akan melanjutkan sekolah? Biaya dari mana? Aku bisa apa? Di mana tempat kuliahku kelak? Ah...
***
Akhirnya aku kuliah juga. Entah apa yang akan terjadi andaikan paman, adik bapak yang paling kecil itu tidak peduli denganku. Lebih tepatnya pada keluargaku. Keluarga paman memang lebih berada dibandingkan dengan anak-anak kakek yang lain. Awalnya aku enggan menerima tawaran dari niat baik pamanku itu. Karena aku tahu ia pun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit setiap bulannya untuk anak-anaknya yang masih sekolah juga.
”Paman, terima kasih. Ndak usah repot-repot. Sekarang aku sudah berusaha cari-cari kerja kok,” ucapku kepada paman, meski sebenarnya aku sama sekali belum pernah mencari kerja. Emak yang dari tadi duduk di samping kiriku mengamini kata-kataku. Ya, dasarnya alasan tadi, sungkan. Karena Emak juga tidak mau membebani orang lain. Dan dulu, falsafah itulah yang senantiasa ditanamkan di hati kami oleh mendiang Bapak.
”Eeehhh... berusaha tapi belum dapat kan? Sudahlah, lagian tidak baik ta menolak rezeki. Yang penting kamu rajin belajar di sana. Wujudkan cita-cita Bapakmu,” desakan paman yang tulus sempat tetap aku tolak. Tapi sejurus kemudian paman mengatakan, kalau dia tidak bisa membiayai kuliahku keseluruhan. Aku dan Emak pun mau tidak mau menyetujuinya. Jadi di sana aku harus mencari ongkos hidup di kota yang dipenuhi faham hedonis ini.
***
Empat tahun sudah peran sebagai mahasiswa aku jalani. Tapi kini semua terasa hampa. Tiap kali kejadian itu melintas di kepala, mendidih rasanya hati. Tapi dengan siapa kemarahan ini terlampiaskan. Siapa yang harus kusalahkan.
Aku kembali tertunduk lemah. Serasa tak ada lagi semangat dalam hidup ini. Apa yang akan kukatakan pada Emak dan paman yang telah membiayai kuliahku lebih dari cukup. Apakah akan kuceritakan dengan jujur tentang semua ini. Belum sempat lamunan resahku terlampiaskan, tiba-tiba terlihat dari kejauhan sosok pemuda yang lari tergopoh-gopoh menghampiriku. Ternyata dia adalah Farhan, teman satu kontrakan. Sudah sekian jam dia mencariku di setiap sudut kota dan akhirnya menemukanku juga. Dengan nada cemas dan napas tersengal-sengal dia mengatakan, ”Mar, ada surat untukmu. Penting. Kamu harus pulang sekarang!” raut mukanya menampakkan kelelahan. Mungkin karena terlalu memaksakan diri berlari untuk mencariku. Sepucuk surat tanpa amplop itu langsung disodorkan padaku. Tanpa pikir panjang kusahut suratnya dan kubaca.
”Damar, pulanglah Nak, Emak sakit keras.”
Tiga kata terakhir dari coretan pena hitam itu seketika membuat tubuhku semakin layu bagaikan daun kering yang berjatuhan tak berdaya. Dalam hatiku hanya mampu menggumam. Apa yang harus kulakukan? Apa yang akan kukatakan pada mereka semua tentang surat drop out dari Rektor karena aku dituduh membidani aksi demonstrasi atas ketidakadilan kebijaksanaan otoritas kampus yang sangat kapitalis?!
Tubuh rasanya seperti terempas dari alam dunia. Terjerembab tak tentu arah. Kini ijazah sarjana sebagai tanda kelulusan pun hanyalah menjadi sebuah mimpi yang tak kan pernah menabur indahnya kebanggaan di hati orang-orang yang sangat kusayangi. Hanyut bersama angan di ujung mimpi.
Mak, Pak, Paman, maafkan aku... - Cerpen Hurido

Harian Umum Solopos Edisi : Minggu, 19 April 2009 , Hal.VIII